Khutbah Jumat Masjid Salman ITB, 24 Mei 2013
Khatib: Drs. H. Saefuddaulah Mehir, MM.
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS 4: 136)
Dua hal yang belakangan ini mau tak mau harus kita perhatikan di negeri kita ialah kasus korupsi dan kasus paranormal.
Tiga puluh enam tahun yang lalu, Mochtar Lubis pernah mendeskripsikan bangsa kita dalam pidato kebudayaannya yang berjudul Manusia Indonesia. Beliau mencatat setidaknya ada enam sifat watak dan karakter bangsa Indonesia, yang kemudian beliau menyebut kalau sifat-sifat ini masih ada, sulit bagi kita untuk bisa maju.
Dia menyebut yang pertama adalah karakter hipokrit, yakni munafik. Kemudian, bangsa kita, katanya, punya watak tidak bertanggung jawab. Berani berbuat; lari dari akibat. Kemudian, bangsa kita dicirikan juga dengan feodal. Hidupnya, kalau dalam bahasa Sunda, seperti menak. Stratifikasi sosial yang dipertahankan ada panyawah, ada juragan. Yang kaya tunjuk-tunjuk tangan saja.
Kemudian, yang keempat, Mochtar Lubis menyebut ciri bangsa kita: selalu percaya kepada takhayul. Ciri ini mengingatkan kita pada hiruk-pikuknya kini kehidupan paranormal di negeri ini. Kemudian, ciri berikutnya dari bangsa kita menurut Mochtar Lubis ialah mengutamakan kehidupan dan artistik yang glamor. Konsekuensinya, bangsa kita kadang lebih menjunjung tinggi para artis daripada para kiai dan ustadz ahli agama.
Dan yang keenam, Mochtar Lubis menyebut ciri bangsa kita: berkarakter amat lemah. Hal ini menyebabkan hidup bangsa kita plin-plan dan ikut-ikutan saja terhadap siapa saja dan terhadap apa saja yang ditawarkannya.
Korupsi di negeri kita ini dilakukan oleh banyak sekali kalangan. Mulai dari para petinggi partai, para penegak hukum, sampai para eksekutif: bupati, gubernur, direktur bank, dan banyak lagi. Sesungguhnya, korupsi ialah sikap membohongi diri. Sikap yang disebut oleh Mochtar Lubis sebagai sifat orang-orang yang senantiasa membohongi bangsanya sendiri. Dan pada akhirnya, kalau hal ini terus terjadi, kita pun malu di mata internasional.
Yang berikutnya menyedot perhatian kita di negeri ini: kasus paranormal. Mau tidak mau, mereka pada akhirnya harus mengaku sebagai seorang Muslim. Sebut saja Eyang Subur, Joko Bodo, Gendeng Pamungkas, atau Mbah Roso, Limbad, dan banyak lagi di negeri ini. Mereka punya kehidupan yang mewah, punya uang yang sangat banyak. Dari mana mereka mendapatkannya? Jawabnya ialah: dari orang-orang yang imannya mengalami krisis. Mulai dari mereka yang ingin punya jabatan, pangkat, bisnis, wanita. Segala keinginan dan harapan mereka digantungkan kepada paranormal. Sehingga, para paranormal pun memiliki kedudukan yang luar biasa.
Nanum, akhirnya mereka juga membongkar dirin mereka sendiri. Ada yang kemudian ikut-ikutan menjadi kepala daerah, tapi justru gagal. Mestinya sebagai bangsa yang cerdas tidak lagi percaya terhadap kehebatan mereka. Kalau memang mereka sakti, tentunya mereka akan gampag saja memenangkan pertempuran pemilihan. Tapi nyatanya tidak. Di beberapa daerah contohnya banyak sekali. Calon walikota Makasar, misalnya. Kemudian, di Tegal, misalnya. Itu semua adalah omong kosong. Tapi anehnya begitu banyak orang di negeri ini yang percaya kepada paranormal.
Demikianlah, barangkali ada benasrnya apa yang dideskripsikan Mochtar Lubis 36 tahun yang lalu. Dan kita memang bisa melihat satu persatu masih ada watak-watak yang digambarkan itu. Sikap hidup hipokrit.
Mengapa itu semua bisa terjadi? Kalau kita simpulkan dari pemikiran Mochtar Lubis tiga puluh enam tahun yang lalu itu, krisisnya jelas, yakni krisis iman. Karena iman tidak tampil dalam diri kita.
Kita perhatiakan ayat beikut: “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS 4:136)
Jadi, ini semua memang masalah iman. Masalah kualitas keimanan kita. Misalnya, sudah jelas agama membatasi poligami empat saja. Tapi ada saja yang mengaku muslim tetap saja melawan hukum Quran. Atau misalnya dengan kebodohan seseorang yang mengaku Muslim menyetorkan uang kepada paranormal dengan harapan mendapatkan jumlah yang berkali-kali lipat. Itu semua di luar rasionalitas. Itu semua omong kosong belaka.
Kita miris sebenarnya melihat itu semua. Memang usia negara ini belum panjang. Baru enam puluh delapan tahun saja. Tapi sebenarnya untuk usia tersebut sebenarnya negeri ini harus bisa beranjak dewasa. Tapi sepertinya susah sekali negeri ini untuk bisa menapaki kehidupan yang selalu lebih baik lagi. Hal ini dikarenakan tidak kokohnya keimanan kita sebagai sebuah bangsa.
Allah berjanji buat orang yang beriman: “Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.” (QS 64: 11)
Jadi kalau hati seseorang sudah hipokrit, sudah munafik, karakter di dalam tidak akan keluar sebagai sebuah personalitas yang terpuji, tidak akan ada akhlak alkarimah. Banyak orang yang bibirnya bisa senyum manis luar biasa, tapi di dalamnya tidak. Sebab karakter adalah sesuatu yang ada di dalam dan dia tampil menjadi kepribadian. Banyak kita melihat orang-orang yang di depan tampak baik, tapi sesungguhnya tidak berasal dari dalam yang baik. Mereka adalah orang-orang yang hipokrit. Jadi hal penting buat kita bagaimana caranya membentuk karakter seorang Muslim yang mantap.
Dan kita pun dibuat miris oleh fenomena caleg di negeri ini. Yakni oleh fenomena para artis yang mencalondan diri menjadi calon legislatif. Dari 560 anggota DPR di Jakarta, sepuluh persen lebih ialah artis. Mereka masih pada belia, belum matang dalam hidup, tidak tahu soal falsafah negara, tidak tahu tentang falsafah hukum, bahkan boleh jadi mereka tidak tahu tetang agama. Apa yang bisa mereka produksi? Produk hukum apa yang mau dibuat?
Sekarang ini, bukan lagi kualitas yang dikedepankan, tapi popularitas. Kita barangkali harus melihat ke belakang. Dulu, anggota-anggota DPR banyak dari kalangan akademisi, para ahli yang sudah senior, yang spiritual quotientnya sudah tidak diragukan. Kalau dia bukan ahli agama, dia ahli akademisi yang matang.
Dengan banyaknya artis di DPR, kita juga jadi ingat kata-kata Mochtar Lubis. Bahwa gaya hidup orang Indonesia lebih mengutamakan dan lebih menghormati para artis, para selebritas, daripada akademisi, para ahli ilmu.
Allah pun berjanji dalam Al-Quran: “Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan mengerjakan amal saleh niscaya Allah akan menutupi kesalahan-kesalahannya dan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah keberuntungan yang besar.” (QS 64: 9)
Demikianlah, semua kemerosotan moral masyarakat kita disebabkan oleh krisis iman. Dengan berbagai cara, pihak ketiga menjauhkan kita dari iman. Hati kita dibikin kosong dan kering. Tidak ada nilai-nilai spiritual. Sehingga apa pun yang dilakukannya, jauh dari bahasa agama. Wallahu ‘alam.
No comments:
Post a Comment