Khatib: Akmasj Rahman, M.Sc.
Katakanlah: “Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.Dan aku diperintahkan supaya menjadi orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 39: 11-12).
Salah satu fungsi atau tugas utama kepemimpinan adalah menjaga dan memupuk moral dan semangat atau spirit masyarakat yang dipimpimnya agar setidak-tidaknya tercapai dua hal. Yang pertama adalah masyarakat yang dipimpinnya percaya bahwa hal-hal ideal sebagai tujuan bersama yang disepakati adalah sesuatu yang memang wajib diupayakan sekaligus realistis dan bisa terjangkau. Dan yang kedua adalah agar masyarakat yang dipimpinnya yakin dan percaya bahwa tujuan tersebut dapat dicapai, paling tidak didekati di bawah kepemimpinannya.
Dalam upaya menjaga dan memupuk spirit dan moral tersebut, pemimpin harus menjadi role model yang selalu menampakkan diri sebagai teladan dan orang yagn pertama-tama dalam penerapan semangat dan moral yang harus dikembangkan tersebut, sejak dari sikap sampai kepada ucapan dan tindakan. Dengan kata lain, seorang pemimpin harus mampu membangun dan mengembangkan alasan untuk yakin—reason to believe—tentang tindakan dan langkah yang dilakukan.
Tentu saja semakin militan sang pemimpin menampakkan kepeloporan dirinya, semakin tinggi pula keyakinan masyarakat yang dipimpinnya terhadap suksesnya pencapaian tujuan bersama dan dengan sendirinya akan berkembanglah reason to believe masyarakat terhadap langkah yang ditempuhnya.
Pada dasarnya, setiap orang perlu menemukan reason to believe atas apa yang dia lakukan. Tanpa menemukan reason to believe itu dia tidak akan mantap menjalankan apa pun yang dikerjakannya. Kita bekerja dengan tekun sepenuh hati di suatu bidang tertentu karena yakin bahwa pekerjaan itu dapat menjadi sarana bagi penyaluran dan pengembangan minat kita, di samping mampu memberi penghidupan dan hal-hal positif lainnya.
Para mahasiswa bersitekun belajar di perguruan tinggi karena yakin bahwa belajar di perguruan tinggi dapat memberi pengetahuan terkemuka untuk menjalani kehidupan masa depan baik dalam hal pekerjaan dan meniti karir maupun dalam soal-soal lainnya. Begitu pula kalau kita flash back. Para pejuang kemerdekaan percaya bahwa hanya dengan kemerdekaan, hidup bermartabat bisa dijalani. Karena itu, meskipun dengan senjata apa adanya mereka berani melawan tentara penjajah yang terlatih dan bersenjata lengkap.
Bagi seorang Muslim, keyakinan lebih dari sekadar apa yang terasa mantap di dalam hati. Di dalamnya ada unsur nilai, yang sumber utamanya adalah Sang Pemilik Kebenaran, Allah SWT. Keyakinan terhadap kebenaran dan eksistensi Allah itu adalah keyakinan dasar atau fitrah yang tidak mungkin berubah. Yang mungkin hanyalah diingkari atau tidak diakui. Keyakinan dasar dan fitrah itu sudah dimiliki manusia sejak dia diciptakan Allah, sebagaimana difirmankan Allah dalam surat An-Nahl (surat ke-27) ayat 14, “Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.”
Sedangkan keyakinan yang mungkin berubah adalah keyakinan pilihan. Yaitu keyakinan atas opsi yang diambil yang melandasi sikap dan tindakan terhadap sesuatu hal atau perkara terkait dengan opsi itu. Dan itu sangat berkaitan dengan kehidupan sehari-hari kita. Keyakinan pilihan akan dimiliki seseorang apabila seseorang tersebut menemukan alasan yang disebut reason to believe atas apa yang dilakukannya itu. Dalam hidup bersama dalam masyarakat haruslah dikembangkan reason to believe pada nilai nilai kebaikan dan kebenaran, seperti kejujuran, dan hidup bersih, penghormatan terhadap hak-hak orang lain, kemandirian dan keteguhan hati, kesederhanaan, dan seterusnya. Dan di situlah terletak fungsi kepemimpinan.
Kadang-kadang dalam situasi-situasi tertentu pemimpin perlu melakukan hal-hal tidak populer dan ekstrem demi agar reason to believe itu tumbuh, dan pada ujungnya mengembangkan semangat dan spirit masyarakat yang dipimpinnya. Dalam hal ini kita bisa melihat contoh, seperti Tariq bin Ziyad, seorang panglima perang Muslim pada awal abad ke-8. Setelah menyeberangi selat yang sekarang dinamai Selat Gibraltal sebagai penghormatan atas namanya untuk berperang melawan tentara Spayol, dia bakar seluruh kapal yang mengangkut bala tentaranya. Setelah dia membakar semua kapalnya, kemudian dia berpidato di depan para prajuritnya, “Prajuritku, semua kapal yang mengangkut kita sudah kita bakar. Kemana kalian akan lari? Di depan kalian ada musuh. Di belakang ada laut. Demi Allah, tidak ada yang dapat kalian sekarang lakukan kecuali bersungguh-sungguh penuh keikhlasan dan kesabaran.”
Dan dari sejarah kita tahu, akhirnya pasukan Tariq bin Ziyad berhasil menaklukkan Spanyol dengan gemilang. Bahkan mereka sudah sampai di Pegunungan Pyrenees yang yang membatasi wilayah Spanyol dan Perancis. Kalau saja tidak dipanggil pulang oleh khalifah pemerintah saat itu, tidak mustahil seluruh Eropa akan takluk di bawah tentara Muslim.
Kemudian dalam skala yang lain, terlepas dari sepak terjangnya yang lain pula, apa yang dilakukan oleh Bung Karno adalah juga sebuah upaya untuk membangun reason to believe karena tidak mau didikte oleh bangsa lain. Dengan gagah Bung Karno menolak semua bantuan asing: go to hell with your aids!
Pertanyaannya: bagaimana seorang pemimpin bisa membangun spirit dan semangat seperti itu kalau dia sendiri belum selesai dengan dirinya? Dengan kata lain, seorang pemimpin adalah seorang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Simak misalnya keteladanan Abu Bakar Sidiq. Dalam pidato pelantikannya dia mengatakan, “Wahai saudara-saudara, aku bukanlah yang terbaik di antaramu. Karena itu, kalau aku benar, ikuti aku. Kalau salah, ingatkan.”
Begitu pula kita membaca sejarah Umar bin Abdul Aziz. Ketika namanya digadang-gadang jadi khalifah. Dia mengatakan, “Jangan sebut-sebut nama saya. katakan pada orang-orang bahwa saya tidak menyukainya. Dan jika ada yang tidak menyebut-nyebut nama saya, jangan ada upaya untuk mengingatkan orang kepada saya.” Lalu masyarakat membuat rekayasa berupa surat wasiat seolah-olah khalifah sebelumnya menetapkan Umar sebagai penggantinya. Begitu diumumkan di depan publik, seluruh hadirin bersorak-sorai setuju, kecuali Umar bin Abdul Aziz sendiri. Dia justru terkejut seperti mendengar petir di siang bolong seraya berucap, “Innalillahi wainna ilaihirajiun. Demi Allah, ini sama sekali bukanlah mauku dan permintaanku baik secara rahasia maupun terang-terangan.” Dan kepada istrinya dia berkata, “Adindaku, sekarang aku ditunjuk sebagai amirul mukminin. Kalau engkau mau mengikutiku untuk hidup sederhana bersamaku, mari tetap bersama-sama dengan aku. Tetapi kalau tidak, mari mulai sekarang kita berpisah.” Padahal sebelumnya Umar bin Abdul Aziz adalah seorang saudagar sukses dan kaya raya.
Selain sudah selesai dengan dirinya, seorang pemimpin juga harus memiliki syarat dan kesiapan yang lain seperti yang disandang oleh Rasulullah Muhammad SAW, yang termaktub dalam surat At-Taubah ayat 128, “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaanmu. Sangat menginginkan kebaikan dan keselamatan dirimu. Amat tulus dan penyayang.”
Berat terasa olehnya penderitaanmu. Sangat menginginkan kebaikan dan keselamatan dirimu. Amat tulus dan penyayang. Itulah yang mendasari visi utama seorang pemimpin besar. Tidak ada yang lebih baik dari itu. visi yang didasari oleh sikap yang demkianlah yang mampun membangun reason to believe dan motivasi. Dan pemimpin yang seperti itulah yang akan tetap dikenang oleh masyarakatnya, menjadi buah tutur yang baik, lisana shidqin. “Dan Kami anugerahkan kepada mereka sebagian dari rahmat Kami dan Kami jadikan mereka buah tutur yang baik lagi tinggi.” (QS 19: 50).
Demikianlah. Alangkah beratnya syarat jadi seorang pemimpin. Kenapa masih jua diperebutkan?
No comments:
Post a Comment