Khatib: Prof. Dr. KH. Miftah Farid
Ada satu dialog antara Nabi dan malaikat Jibril ketika Rasulullah SAW bersama para sahabat sedang berada di satu tempat. Saat itu, tiba-tiba datang seorang pria berpakaian serba putih. Tampak wajahnya bersih. Dia kemudian duduk dekat dengan Nabi. Terkesan dia begitu akrab dengan Nabi. Kemudian, terjadi dialog dan terkesan dia banyak tahu tentang agama. Setelah itu, dia pergi.
Umar bin Khatab, salah seorang sahabat yang ada pada waktu itu, bertanya kepada Nabi, “Ya Rasulullah, siapa tamu tadi? Dia berpakaian serba putih. Tampak wajahnya bersih. Begitu akrab dengan Anda. Dan terkesan banyak tahu tentang agama.” Nabi menjawab, “Itu Jibril; mengajarkan sesuatu kepada kalian.”
Dialog Nabi dengan Jibril itu adalah, pertama, tentang iman. Itu yang kemudian menghasilkan konsep rukun iman yang enam. Kemudian, yang kedua, tentang Islam, yang menghasilkan rukun Islam yang lima. Dan, ada dialog setelah iman dan Islam, yaitu dialog tentang ihsan. Ihsan merupakan puncak dari iman dan Islam.
Kesempurnaan iman dan Islam membuahkan ihsan. Nabi menyatakan ihsan itu: pertama, seseorang menyembah Allah seolah-olah dia melihat Allah. Kita menyembah Allah sering kali hanya sekadar demi memenuhi syarat dan rukun ibadah, yang mungkin sah secara fiqih. Dan kita memang mendapat pahala sebagaimana dijanjikan. Tapi, belum tentu kita menemukan sebuah kenikmatan spiritual. Ihsan adalah harus lebih dari itu. Kita menyembah Allah seolah-olah Allah hadir di depan kita.
Memang tidak mudah menciptakan suasana batin seperti itu. Tapi, kita harus berusaha mencapai tingkat kualitas ibadah seperti itu. Pengalaman-pengalaman spiritual di dunia sufi dan di dunia tasawuf memperlihatkan bagaimana mereka menemukan kenikmatan-kenikmatan itu. Kenikmatan yang menurut mereka sebagai sa’adah, sebuah konsep kebahagiaan yang tidak ada bandingannya.
Salah seorang sufi terkenal, Rabiah Al Adawiyah, pemikiran teologinya banyak dikritik, dianggap ekstrem dan berlebih-lebihan. Tapi dia menyodorkan sebuah konsep yang barangkali baik untuk direnungkan. Untuk menemukan kenikmatan spiritual, ketika kita menyembah Allah, menurut Rabiah, dasarnya harus cinta kepada Allah. Ia dikenal telah menghabiskan waktu untuk mewujudkan cinta kepada Allah. Karena cinta kepada Allah, bibirnya selalu basah menyebut nama Allah. Karena cinta kepada Alah, kalam-Nya lebih banyak dibaca daripada kalam-kalam atau kitab-kitab yang lain.
Ketika seorang putra mahkota, calon raja, meminangnya untku dijadikan istri, ia memberikan jawaban, “Saya mohon maaf, Baginda, saya tidak mungkin menerima lagi Baginda. Karena cinta saya sudah habis kepada Allah SWT.” Rabiah dikesankan begitu kurang senang pada dunia, karena merasa cintanya sudah habis kepada Allah SWT. Sekali lagi, kita boleh beda pendapat. Tetapi ajaran tentang cintanya menarik untuk dipelajari. Rabiah sempat berdoa—itu yang banyak dikritik: “Tuhan, saat ini saya menyembah-Mu karena mengharapkan surgamu. Saya tidak pantas masuk surga-Mu karena saya mengharapkan surga-Mu; bukan mengharapkan Engkau, tapi mengharapkan makhluk-Mu, yaitu surga. Seandainya saya menyembahmu karena takut masuk neraka-Mu; neraka itu milik-Mu, saya juga milik-Mu, tidak ada yang mengahalangi aku untuk dimasukkan ke neraka-Mu.Saya menyembah-Mu, Tuhan, karena saya rindu. Saya cinta kepada-Mu, saya rindu ingin selalu bertemu, berdialog dengan-Mu.
Ketika kita beribadah, selain kita sah melaksanakannya dan menggugurkan kewajiban, tapi bagaimana setiap ibadah itu memberikan kepuasan spiritual. Sehingga ibadah shalat, umpamanya, menjadi syifa, pengobatan spiritual. Dengan shalat kita bisa menghilangkan perasaan perasaan yang tidak nyaman, entah itu kesedihan, rasa keterasingan, ketersinggungan, kemarahan, sampai stres dan depresi mental. Shalat menjadi pengobatan spiritual. Dengan shalat kita pasrah total kepada Allah SWT.
Dalam pengembangan spiritualisme islam, sempat juga lahir sikap-sikap yang dinilai sebagai sebuah sikap yang ekstrem. Itu yang kita kenal dengan konsep Al-Hulul dari Al-Halaj. Al-Halaj merasa menyatu dengan Allah. Atau konsep ini yang kita juga kenal dengan panteisme, seperti yang dikembangakan oleh Al-Halaj, Syeh Siti Jenar, dan Ronggowarsito yang dikenal dengan konsepnya Manunggaling Kawula Gusti.
Tetapi, bagaimana kita menemukan ibadah itu jadi sebuah kenikmatan? Ibadah tidak jadi menjadi beban. Tapi ibadah jadi sebuah refreshing. Kita pun ketagihan untuk berdioalog dengan Allah. Sekali lagi, memang tidak mudah, tapi kita harus berusaha menemukan kepuasan spiritual ketika menyembah Allah. Sering suasana yang seperti itu dirasakan oleh seseorang yang selesai umrah, selesai ibadah haji, ketika dia selesai melaksanakan tawaf perpisahan, tawaf pamitan. Setelah tawaf tujuh kali, biasanya mereka bediri di antara hajar aswad dan pintu kabah, berdoa dengan dengan doa tawaf wada. Ia mengungkapkan perasaannya dikemas dalam doa tawaf wada, “Ya Allah, kembalikan aku ke sini, kembalikan aku ke sini. Aku ingin berjumpa terus dengan-Mu.” Rata-rata mereka menemukan kepuasan spiritual. Kira-kira secara mudah seperti itulah ibadah yang dikatakan ihsan.
Dan yang kedua, Nabi menyatakan, kalau kamu tidak bisa merasakan sebuah kenikmatan ketika beribadah menyembah Allah seolah-olah kamu melihat Allah, paling tidak kamu harus sadar dan yakin Allah selalu melihat kamu. Allah selalu melihat kamu. Inilah yang kemudian diajarkan dalam kajian tentang spiritualisme Islam, yaitu yang disebut al-haya, malu, tidak sampai hati untuk berbuat sesuatu yang dilarang oleh Allah. Karena merasa yakin betul Allah itu Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Memperhatikan, Maha Menghitung. Dan hatinya tidak sampai hati untuk mendemonstrasikan suatu perbuatan yang dimurkai oleh dzat yang Mahakasih, yang Mahasayang. Ini adalah bagian dari pada esensi yang disebut amanah, kejujuran.
Seorang sahabat sengaja datang dari tempat yang jauh menghadap Nabi. “Ya rasulullah, saya datang dari tempat yang jauh. Saya ingin bertanya sesuatu yang saya anggap penting jawaban langsung dari Anda.” Kata nabi, apa yang mau ditanyakan. “Sebetulnya, jadi orang Islam itu apa yang paling mudah?” Nabi menjawab, baca dua kalimat syahadat, itu yang paling mudah. “Yang paling sulit apa, ya Rasulullah jadi seorang muslim?” Nabi menyatakan, kamu ingin tahu jadi orang Islam yang paling sulit? “Betul rasulullah.” Kata nabi, hidup jujur. Itu yang paling sulit. Dan Rasulullah menyatakan, “Tidak ada iman bagi orang yang tidak jujur.”
Demikianlah. Terserah kalian pilih: mau iman dan jujur; atau tidak jujur dan tidak beriman. Tidak mungkin orang mengatakan imannya kuat kalau tidak jujur. Tidak mungkin dikatakan saleh kalau ia tidak jujur. Kejujuran menjadi bagian penting dalam kehidupan seorang yang beriman. Dan Nabi menyatakan, kalau kejujuran sudah menjadi barang langka, kalau ketidakjujuran menjadi sebuah budaya, mencari yang jujur lebih sulit daripada yang tidak jujur, pada suatu saat berkah dari bumi akan diangkat oleh Allah ke langit. Hutan tinggal hutan. Gunung tinggal gunung. Sinar matahari bisa menumbuhkan penyakit. Gunung-gunung melahirkan penyakit. Karena keberkahan diangkat oleh Allah ke langit. Nauzubillah.
Berbicara kejujuran mengingatkan kita kepada salah satu contoh klasik yang diungkapklan oleh Al-Gazali dalam Ihya Ulumuddin. Ia menceritakan pengalaman seorang khalifah yang sangat dekat dengan orang orang miskin. Yang sering datang ke kampung-kampung, untuk berdialog, ingin mengetahui bagaimana kehidupan mereka. Ia adalah Umar bin Khatab. Ia tinggalkan pusat pemerintahan. Sampai di sebuah tempat yang jauh, ia bertemu dengan seorang penggembala kambing. Ternyata, ia adalah seorang penggembala kambing yang buta huruf, yang miskin dan hina, yang tidak tahu perkembangan. Sampai dia tidak tahu bahwa yang datang itu adalah khalifahnya, atau pemimpinnya. Ia bertanya, “Apa yang kau kerjakan?” “Ya, saya menggembala kambing,” jawabnya. “Berapa ekor yang kau gembalakan di lembah ini?” tanya Umar. “Saya tidak tahu jumlahnya,” jawabnya. “Saya mau beli satu ekor,” kata Umar.
“Kalau Tuan mau beli kambing, datanglah ke majikan saya. Saya tidak ada hak untuk menjualnya. Saya hanya berperan sebagai kuli, penggembala,” katanya. “Apa majikan kamu tidak akan percaya kalau kau nanti berkata salah satu kambing dari sekian ratus ini ada yang mati?” kata Umar. “Pasti percaya, Tuan; saya tidak pernah berkata dusta.” Dikeluarkanlah oleh Umar segepok uang di kantong; ditaruhnya di tangan kanan si penggembala kambing yang bodoh dan miskin dan orang kampung itu. ”Ini uang bawalah kamu jadi orang kaya, kambingnya akan aku ambil satu ekor.” Uang itu dilepaskannya dan ia memukul pundak sang khalifah. Ia menyatakan, “Malu kau kepada Allah!”
Al-Gazali menceritakan, setelah itu Umar merebahkan badannya. Ia Sujud syukur. Dan ia menyatakan, “Ya Allah, saya bahagia, karena rakyat saya walaupun miskin tapi jujur; saya bahagia, rakyat saya bodoh tapi jujur. Ia tidak mau mengambil hak orang lain padahal peluang terbuka.” Lantas Umar bertanya, “Masih adakah, di akhir zaman, hamba-hamba-Mu yang memiliki kejujuran seperti ini? Pengembala kambing itu tidak mau mengambil hak orang lain ketika peluang terbuka. Padahal orang lain tidak tahu. Hanya karena ia malu klepada-Mu.” Pertanyaan itu lalu dibiarkan oleh Al-Gazali untuk dijawab tentunya oleh kita.
Al-Quran menerangkan apabila sebuah ajaran diturunkan dan sampai kepda masyarakat, maka secara garis besar masyarakat terbagi kepada tiga macam dilihat dari sikapnya. Pertama, yang disebut oleh Quran sebagai mereka yang zalim. Ia patuh hanya pada sebagian ajaran. Dan kedua, disebut muhtasin, yang pas-pasan. Mereka disebut juga yang alim karena telah melaksanakan apa yang diperintahkan. Kemudian, yang ketiga, disebut-Nya: sabiqun bil khairat; mereka yang memiliki semangat kompetitif dan merekalah yang disebut orang-orang ihsan.
Ketika sehari semalam kita melaksanakan shalat yang wajib 17 rakaat atau 15 rakat kalau hari Jumat, maka kita telah mencapai tingkat adil dan telah melaksanakan apa yang telah diwajibkan oleh Allah. Tapi kalau kita sehari semalam melaksanakan shalat kurang dari 17 rakaat atau kurang dari 15 rakaat, kita masuknya ke dalam kelompok zalim, tidak patuh kepada ajaran. Tapi kalau kita mampu sehari semalam sampai 30 rakaat, umpamanya, yaitu 17 rakaat wajib, dan 10 rawatib yang muakad, ditambah 3 witir; apalagi sampai 40 rakat: 17 wajib, 10 rawatib, 2 rakaat iftitah atau syukur wudhu, 10 tahajud dan 1 witir, kita telah mencapai tinghkat ihsan.
Kalau dari penghasilan besar kita, kita mampu mengeluarkan 2,5 persen zakat maal, kita telah adil, muhtasin. Kalau kurang dari itu, kita zalim; tapi kalau menambah dengan infak, sedekah, dan bentuk-bentuk pemberian lainnya, kita telah mencapai kualitas ihsan. Apabila kita mendapat tugas dari tempat pekerjan kita dan kita mampu mengerjakannya pas sepuluh, kita adil; tapi kalau kita mengerjakan 8, kita zalim; dan kalau kita mampu berprestasi mengerjakan lebih dari 10, bisa 12, bisa 14, berarti kita telah mencapai kualitas ihsan.
Ketika orang lain berbuat jahat kepada kita, lantas kita balas kejahatan itu, berati kita zalim. Kalau kita proses secara hukum, itu termasuk adil. Tapi kalau kita memaafkan dia, mendoakan dia supaya mendapat hidayah, itu adalah ihsan. Rasulullah SAW mengemas dalam sebuah pesan moral tentang kualitas ihsan, “Ada tiga sikap yang merupakan ciri jiwa besar umatku. Apabila kalian memiliki tiga sikap itu, kalian akan mendapat proses hisab yang ringan dan kalian akan mendapat surga dengan rahmat Allah. Pertama, hubungkan tali persaudaraan dengan setiap orang, termasuk dengan orang yang membenci dan memusuhi kamu. Kedua, tolong orang lain, termasuk orang lain yang tidak pernah mau menolong kamu. Dan, ketiga, maafkan orang lain, termasuk orang lain yang berbuat zalim dan aniaya terhadap dirimu.”
Nabi berpesan, jangan kita menjadi pendendam. Kalian berkata, kalian berbuat baik kalau orang lain berbuat baik; kalau orang lain berbuat jahat, apa boleh buat saya pun akan berbuat hal yang sama. Nabi mengatakan, berjiwa besarlah kalian. Kalian berkata, kalau orang lain berbuat baik, saya akan berbuat baik. Kalau orang lain berbuat jahat, saya serahkan kepada Allah. Saya tidak akan melakukan kejahatan, biar saya serahkan kepada Allah.
Ihsan, sekali lagi, adalah puncak dari iman dan Islam. Al-Quran menyebut golongan yang ihsan sebagai muhsinin. Dan beberapa kali Allah menyatakan bahwa sesungguhnya Allah telah jatuh cinta kepada orang-orang yang memiliki kualitas ihsan. Innallaha yuhibbul muhsinin.
No comments:
Post a Comment