Khatib: Dr. Asep Zaenal Ausop, M.Ag
“Dan katakanlah: ‘Ya Rabb-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.’” (QS 17:80)
Tasawuf lahir pada abad ke-2 H. Jadi, tasawuf dan tarekat bukan lahir saat Nabi masih hidup. Kenapa lahir tasawuf dan tarekat? Saat itu, Islam sangat jaya. Budaya Islam sangat luas. Islam sangat kaya. Uang melimpah. Harta di mana-mana. Dampaknya, antara lain, muncullah kehidupan individualistik dan materialistik. Umat Islam hidup glamor dan sangat duniawi. Banyak para ustadz juga yang terkena penyakit ini. Maka, ada sebagian orang yang khawatir terkontaminasi penyakit dunia ini. Lantas mereka lari dan menjauh dari keramaian kota. Mau ke mana mereka? Mereka beruzlah. Pergi jauh ke bukit-bukit di gurun-gurun. Mau apa? Mereka mau latihan hidup sederhana. Caranya? Mula-mula mereka menanggalkan pakaian-pakaian bagus mereka, dan mengganti pakaian mereka dengan pakaian yang terbuat dari wol kasar. Wol terbuat dari bulu domba. Bulu domba bahasa Arabnya shuf. Maka disebutlah mereka kaum sufi. Jadi kaum sufi dikenal karena bajunya. Jadi, orangnya disebut sufi sementara ajarannya disebut tasawuf.
Kaum sufi mempunyai dua tujuan pokok. Yang pertama, ingin dekat kepada Allah sedekat-dekatnya tanpa gangguan duniawi. Disebut dengan taqarrub. Yang kedua: mereka ingin dapat melihat Allah dengan mata hati. Ingin mengetahui rahasia Allah sebaik-baiknya, atau makrifat. Untuk mencapai makrifat, sesorang perlu melakukan latihan pensucian jiwa yang disebut riyadlah, istilah lainnya adalah mujahadah an-nafs (latihan pembersihan jiwa). Mujahadah an-nafs dilakukan melalui tiga tingkatan, yaitu takhalli (mengosongkan, membuang, atau mensucikan dari sifat-sifat buruk), tahalli (mengisi atau menghiasi jiwa dengan sifat-sifat yang baik), dan tajalli (merasakan kebesaran dan kehebatan Allah).
Pertama, takhalli. Secara bahasa, takhalli berarti mengosongkan, membuang, atau mensucikan, sedangkan secara istilah bermakna membersihkan jiwa dari bebagai nafsu yang rendah dan dilarang Allah, misalnya sum'ah, riya, ujub, gila dunia, gila pangkat, gila harta, banyak mengumpat, terlalu banyak bicara, dan terlalu banyak makan. Selagi manusia belum membenci, memusuhi, dan membuang kebiasaan itu jauh-jauh, maka nafsu itu akan senantiasa menguasai dan memperbudak manusia.
Kedua, tahalli. Secara bahasa artinya mengisi, sedangkan secara istilah artinya mengisi atau menghiasi hati dengan sifat-sifat mahmudah seperti jujur, ikhlas, tawadlu (rendah hati), amanah, tobat, berprasangka baik, takut kepada Allah, pemaaf, pemurah, syukur nikmat, zuhud, rida, sabar, rajin, berani, berlapang dada, lemah lembut, mengasihi semua mukmin, selalu ingat mati, dan selau bertawakal kepada Allah. Namun demikian, karena level ini masih proses pengisian, maka orang yang berada pada kondisi tahalli ini belum banyak merasakan ketenangan dan kelezatan hidup. Berkenaan dengan tahalli ini semua ibadah, baik shalat, puasa, zakat, membaca Al-Quran, dan lain-lain merupakan media pendidikan dan latihan untuk mampu membuang sifat-sifat madzmumah (tercela) untuk diganti dengan sifat-sifat mahmudah (terpuji).
Ketiga, tajalli. Yakni penjelmaan dari usaha pensucian jiwa tadi. Tajalli sejenis perasaan yang datang sendiri tanpa memerlukan usaha lagi. Perasaan itu adalah perasaan lapang, tenang, bahagia, ceria, dinamis, dll. Orang yang sudah sampai ke tingkat tajalli, ingatan dan rasa rindunya penuh tertuju kepada Allah. Apa saja yang menimpanya, baik nikmat maupun musibah, akan tetap dirasakan sebagai kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Oleh karena itu, hati dan penampilan orang peringkat tajalli selalu tenang dan istiqamah.
Selain konsep takhalli , tahalli, dan tajalli, terdapat tahapan-tahapan pelatihan atau terminal, station yang dalam istilah tasawuf disebut maqam, jamaknya maqamat. Maqam (jamaknya maqamat) adalah anak tangga, station, atau terminal yang harus dilalui seseorang dalam proses mujahadah an-nafs guna mencapai kesempurnaan ruhiyah sampai ke tingkat makrifat, dari mulai terminal pertama yakni tobat sampai ke terminak tujuan yakni makrifat. Dalam hal ini jumlah dan urutan maqam berbeda-beda antara konsep sufi yang satu dengan yang lainnya. Maqam-maqam itu adalah: tobat, zuhud, wara, faqir, sabar, taqwa, tawakal, rida, mahabbah, makrifat.
Dalam pandangan Imam Al-Ghazali, tasawuf sampai ke tingkat makrifat masih sesuai dengan sunnah Rasul. Akan tetapi, yang terjadi berikutnya adalah ajaran tasawuf yang out of side atau berlebihan. Apakah itu, yakni konsep Hulul dan Ittihad.
Di dalam diri manusia terdapat dua sifat, yakni, pertama, sifat kemanusiaan yang disebut Nahut, seperti serakah, keluh kesah, tergesa-gesa, sombong, dll. Kedua, sifat-sifat Ilahiyah yang disebut Lahut. Setelah melalui mujahadah an-nafs, sifat-sifat nasutnya menghilang tinggallah sifat-sifat Ilahiyahnya. Kedaan ini disebut baqa. Baqo artinya yang tinggal atau yang tersisa. Jadi baqa adalah suatu keadaan (hal) di mana di dalam jiwa manusia hanya berisi sifat-sifat baik steril dari sifat-sifat buruk. Apabila jiwa manusia sudah dalam keadaan baqa (suci), maka Allah akan turun dan menempati jiwa orang itu. Inilah yang disebut hulul (halala: telah menempati). Jadi di dalam jiwa orang suci itu ada dua eksistensi, satu dirinya dan yang kedua adalah Allah.
Konsep hulul ini diketengahkan oleh Al-Hallaj, Menurut Al-Hallaj, di jubahku ada Allah. Konsep hulul ini kemudian diikuti oleh yang lainnya. Salah seorang di antara orang yang mengaku telah mengalami hulul adalah Syaikh Siti Jenar. Selain konsep hulul ada lagi yang lebih ektrem, yakni konsep Ittihad. Menurut Abu Yazid Al-Bustomi, jiwa orang suci (baqa) bisa naik dan bersatu dengan Allah yang disebut Ittihad. Dalam ittihad Jiwa orang itu telah melebur dan bersatu (ittihad) dengan Allah.
Berbeda dengan hulul. Kalau dalam hulul masih ada dua eksistensi, yakni Allah dan jiwa orang yang ditempati, tetapi dalam ittihad hanya ada satu eksistensi. Oleh karena itu tahlil orang yang telah mengalami ittihad bukan lagi la ilaha illallah tetapi la ilaha illa ana. Dalam proses ittihad ini, seorang sufi sering berbicara aneh yang dalam pandangan orang luar mungkin dianggap ngaco, tetapi dalam terminologi mereka bukan ngaco atau ngawur melainkan syatahat.
Dalam pandangan Imam Al-Ghazali, Hulul dan Ittihad adalah konsep tasawuf yang out of side, berlebihan, over acting, dan ini bisa syirik. Nabi saja yang paling unggul dalam soal spiritual tidak pernah mengalami hulul atau ittihad. Mengapa ada orang yang mengaku mengalami kejadian itu. Imposible. Selanjutnya, kata al-Ghazali, tingkatan maqam tertinggi yang bisa dicapai adalah makrifat. Oleh karena itu kita harus menjauhi konsep hulul apalagi ittihad.
Sebagai penutup, ajaran tasawuf yang benar adalah ajaran tasawuf yang berdasarkan Al-Quran dan hadits sahih. Jangan sekali-kali terpukau dengan ajaran tasawuf jika tidak memiliki dasar yang kuat. Banyak sekali pokok-pokok ajaran tarekat yang batil atau bidah. Oleh karena itu, agar kita terhindar dari kekeliruan syar’i, maka cukuplah beragama dengan menggunakan Al-Quran dan As-Sunnah. Tidak perlu beramal dengan amalan yang bersumber dari mimpi seorang syaikh tarekat.
“Dan katakanlah: ‘Ya Rabb-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.’” (QS 17:80)
No comments:
Post a Comment