Sunday, May 26, 2013

Membina Diri

Ceramah Salat Jumat Masjid Salman ITB, 29 Maret 2013
Khatib: Dr. Rahman Maas


Dan siapakah yang beragama islam dengan baik kecuali mereka yang pasrah kepada Allah dan ihsan berbuat baik kepada sesama.

“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang ia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.” (QS 4:125).

Hidup beragama di zaman sekarang ini tidaklah mudah. Dewasa ini, perhatian, ucapan, dan tingkah laku kita kerap tersedot oleh masalah-masalah duniawiah. Sehingga, kita sering kehilangan momentum, kesempatan, dan peluang untuk lebih memperbaiki kehidupan beragama kita. Tenggelam, larut, dan terseret dalam keseharian yang habis semata untuk minat-minat duniawi.  Dan demikianlah, tidak jarang demi meraih perkembangan duniawiah itu kita harus mengorbankan nilai rohani kita.



Kita yang masih dapat menjalankan ibadah patutlah bersyukur masih diberi rahmat oleh Allah SWT. Karena tidaklah mungkin kita dapat tunduk dan menjalankan perintah-Nya kecuali berkat rahmat dan petunjuk Allah SWT. Untuk itu, kita patut berdoa dengan lirih dan dilandasi oleh niat yang tulus serta suci: Ya Allah, berikanlah terus kepada kami peluang untuk senantiasa beribadah kepada-Mu; dalam sisa umur kami ini, janganlah sampai kami meninggalkan shalat dan ibadah lainnya kepada-Mu.

Tentang kualitas kehidupan beragama zaman sekarang yang kian menurun, para ulama salaf telah menyinggungnya jauh-jauh hari. Beberapa sinyalemen itu adalah sebagai berikut. Yang pertama, banyak orang yang mengaku beriman, tetapi dalam kehidupan sehari-harinya berbuat semau gue.

Kemudian, sinyamelem yang kedua: kita semua tahu bahwa segalanya sudah ditentukan oleh Allah. Bahwa Allah bertanggung jawab atas semua makhluk-Nya. Bahkan, Allah sudah menentukan rezeki seorang manusia sebelum diturunkan ke dunia. Tetapi, dalam kehidupan keseharian kita di bidang ekonomi, kita semua berjuang mati-matian mengejarnya. Sampai-sampai kita melupakan waktu shalat. Itulah kelemahan kita yang kedua. Kita beriman bahwa Dia memberi rezeki kepada kita dengan cukup, tapi kita tidak mampu menolak persaingan di antara kita di dalam meraihnya.

Dan yang ketiga: kita semua tahu bahwa kita akan mati, bahwa setiap makhluk yang bernyawa akan mati. Akan tetapi, anehnya, kelakuan dan tingkah laku kita tidak seperti orang yang akan bertemu mati. Kita bertingkah akan terus bisa hidup selama kita mau.

Itulah hal-hal yang harus banyak kita tertibkan lagi. Hal-hal yang harus membuat kita terus terdorong untuk memperbaiki diri. Dan syarat untuk memperbaiki diri ialah ilmu. Dan kita diberikan kesempatan untuk mendapatkan ilmu di muka bumi.

Secara garis besar ilmu terbagi menjadi dua. Yakni, ilmu agama dan ilmu umum. Atau pendidikan agama dan pendidikan umum. Dan aksioma atau ketentuan tentang ilmu menyebutkan sebagai berikut: ujung dari ilmu dunia, dalam berbagai fakultas dan universitanya, ialah berguna hanya dalam satu hal, yakni mendapatkan dunia ini lebih mudah daripada yang lain. Dengan kata lain, kemampuan keilmuan (ilmu umum) seseorang akan mempermudahnya dalam mendapatkan dunia ini. Tetapi, kita harus sangat menyadari, bahwa dalam mendapatkan dunia itu, dalam perjalanannya, akan senantiasa ditumpangi setan. Setan akan selalu membisiki dan membujuk manusia dengan keburukan meski dalam bentuk yang indah. Itulah: setan selalu menawarkan kesenangan kesenangan duniawi.

Dan demikianlah, kesenangan yang menggoda manusia itu tidak jarang bernama kebutuhan primer. Makan, minum, syahwat, perumahan, kendaraan, dan wisata. Dan kita pun dibuat sulit menjaga syahwat, makan, minum, dan sebagainya itu oleh karena kita dibujuk oleh setan dalam memenuhi kesenangan dunia-dunia itu. Bagi yang lebih punya, akan lebih tamak lagi dalam mendapatkannya dan menggunakannya.

Dalam ajaran agama disebutkan: satu bentuk dosa yang jarang disadari, jarang dikoreksi, dan bahkan kita jarang meminta ampunan atasnya ialah dalam memenuhi kesenangan-kesenangan duniawi. Di sana setan selalu ikut campur, membujuk dan menggoda kita. Kita sibuk saja makan, minum, dan seterusnya. Dan habislah umur kita, lalu kita pun tidak punya apa-apa lagi. Itulah setan yang menggelincirkan.

Demikianlah. Sebuah dosa yang tidak pernah disadari dan tidak pernah kita memohon ampun atasnya, ialah saat kita tergelincir ketika meraih kebutuhan primer dengan cara yang tidak benar. Dan mereka yang sudah terjerumus akan mendapat penyakit rohani yang keras. Yakni, pertama, tidak bisa menghindar dari riya atas keberhasilannya. Dan akhirnya dirundung penyakit ujub. Bahwa dia beranggapan: kesuksesannya sama sekali bukan karena kehendak Allah.

Ilmu dunia hanya mengantarkan kita supaya mudah mendapatkan dunia. Sementara, ilmu agama mengantarkan kita tidak hanya meraih dunia, tetapi juga meraih akhirat, tujuan yang hakiki. Ilmu agama terdiri atas empat pasal. Pertama, ilmu yang mulia. Itulah ilmu yang dapat mengantarkan kita mengenal siapa Tuhan kita. Maka berbagai pelajaran kita tempuh. Sifat-sifat Allah SWT. Nama-nama-Nya dalam Asmaul Husna. Semuanya membuat kita, pada waktunya masing-masing yang tepat, mengenal dan puas beriman kepada-Nya.

Kedua, ilmu agama sebagai ilmu yang bermanfaat, yakni tidak lain adalah ilmu fiqih. Ilmu inilah yang mengantar kita supaya bisa shalat, zakat, berhaji, dan seterusnya. Yang ketiga, disebut ilmu yang unik. Ilmu yang sulit disebut tapi nyata. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW menjelaskan: rabalah dadamu; kalau engkau dipuji orang apa berada di sana? Senang, tentram. Cobalah berbuat seperti itu untuk orang lain. Itulah akhlak. Dan akhlak memang mendasari kemampuan kita dalam beragama. Dan adapun yang terpokok ialah yang keempat. Yakni pengetahuan kita tentang mati. Dan memang hanya sedikit sekali pengetahuan manusia tentang mati.

Mati dibagi dua: mati yang baik dan mati yang buruk, atau khusnul khatimah dan suul khatimah. Akhir (mati) yang baik berupa: berhenti menerima kesulitan. Sementara, mati yang buruk akan mengalami sakratul maut yang sakit. Mati yang buruk ialah supaya yang bersangkutan tidak terus-menerus mempersulit hidupnya.

Demikianlah, maka ilmu tetang mati dapat disebut ilmu yang pokok. Maka, bagi kita: ingatlah akan kematian. Banyak-banyak latihan mengingat kematian. Karena sesuatu yang akan menghancurkan kenikmatan-kenikmatan dunia ialah tidak lain: kematian.

Itulah dua macam ilmu dengan masing-masing fasilitas yang diberikannya. Dan persoalannya sekarang ialah bagaimana kita memakai ilmu-ilmu itu. Bagaimana kita membina diri kita yang lemah ini. Dan membina diri itu ada dua. Pertama, riyadah, latihan terus. Kedua, mujahadah, menjalani segala hal dengan kesungguhan. Semua hal akan kita capai kalau kita punya program; kalau kita merencanakan riyadah kita sebaik mungkin, juga dengan bersungguh-sungguh.

Dan riyadah dalam kehidupan beragama salah satunya ialah menahan nafsu dalam memenuhi kebutuhan primer. Mengurangi makan. Membiasakan lapar seperti berpuasa.

Oleh karena itu, Sayidina Umar tatkala menjadi khalifah memanggil anggota pemerintahannya. Beliau meminta kepada mereka untuk menunjukkan kejelekannya. Lalu, salah seorang dari mereka berkata: “Saya melihat perbedaan mencolok pada dirimu; sebelum menjadi khalifah dan sekarang. Engkau dulu makan dengan satu lauk saja. Sekarang, lauknya lebih dari dua macam. Bukankah itu sesuatu yang berlebihan?” Maka menangislah Sayidina Umar. “Siapa lagi mau mnegoreksiku?” “Ya Umar, dulu bajumu satu saja sampai lusuh. Sekarang, bajumu dua. Satu untuk mengganti yang lain.” Umar pun menangis karena itu. Itulah ukuran ukuran yang mereka pakai. Sedangkan kita? Baju pesta, baju kerja, baju bergaul, baju ke masjid. Semuannya ada dan bagus-bagus. Dan bahkan kita masih selalu ingin juga membeli yang baru.

Maka, tidak berlebihan kiranya nasihat buat kita untuk senantiasa hidup sederhana. Membatasi dalam arti kita ialah: cobalah tahan nafsu beli baju baru sebelum yang ada ini habis. Jangan paksa yang berat. Tapi juga jangan tinggalkan peluang yang ringan ringan. Makan dengan dua lauk sudah cukup. Hal itu sudah memenuhi kriteria menyederhanakan. Dan itu barangkali latihan yang bisa kita coba.

Kemudian, dalam hal bersungguh-sungguh. Kita harus sadar bahwa ujung dari segala usaha kita ialah untuk akhirat kita. Coba kita pikirkan satu contoh. Kelak saat manusia dibangkitkan dari kuburnya, terdapat sekelompok manusia yang memiliki sayap dan langsung terbang menuju surga-Nya tanpa hisab. Malaikat penjaga surga bertanya, “Siapa kalian ini?” Mereka menjawab, “Kami adalah kelompok Rasulullah SAW. Kata malaikat, “Baiklah, masuk. Tapi kami ingin bertanya, apa amalan dunia kalian sehingga kalian bisa seperti ini?” Dan ternyata jawabannya ialah apa yang harus kita perbaiki tadi. Jawab mereka, “Kami menahan diri sekuat-sekuatnya untuk tidak melakukan maksiat tatkala sendirian. Sebab kami beriman kepada Allah yang Maha Melihat. Yang kedua, kami yakin Dia sudah mengatur rezeki. Dan kami menerima kalau sedang mendapatkan sedikit. Tidak sedikitnya yang kami ukur. Tetapi, kami melihat yang mengaturnya, yang memberinya, Dia.” Demikianlah, dan kita ingat Rasulullah pun memberikan pula satu semangat, “Siapa yang mampu menerima rezekinya yang sedikit dengan ikhlas, maka Allah pun akan ikhlias menerima ibadahnya yang sedikit.” Itulah cermin bagi kehidupan beragama kita. Kita mengaku beriman, tapi kerap tidak ikhlas menerima rezeki dari-Nya yang mungkin dalam ukuran kita sedikit. Itulah kelemahan kita.

Demikianlah, upaya kita dalam membina diri terdiri atas empat langkah. Pertama, hal yang pokok, ialah carilah ilmu. Sempatkan diri datang untuk ke majelis taklim dan majelis ilmu lainnya. Kedua, setelah mendapat ilmu, kita harus yakin. Lalu, kalau sudah yakin, ridai apa yang dinasihatkan ilmu itu kepada kita. Langkah ketiga, istikamah. Kita terus mencoba, jatuh, dan terus berusaha mencoba lagi. Terus setahap demi setahap, semampu masing-masing. Adapun yang langkah atau tahapan keempat, memang paling berat. Yakni hidup dalam zuhud: tidak terlalu tergantung pada dunia lagi. Bagi mereka yang sudah mengamalkannya, zuhud ialah: meninggalkan dunia sebelum meninggal dunia.

Dan dalam kenyataannya setan memang selalu menggoda. Agar kita lupa dan menganggap tidak ada akhirat. Kemudian, dalam keseharian pun kita menjadi lengah. Akibatnya, kita senang menunda-nunda urusan, terutama urusan akhirat. Dan puncaknya dari itu semua ialah: llalai. Lalu, akhirnya kita pun rugi. Maka, urutan klasik dalam ilmu agama itu adalah: lengah, menunda-nunda, lalai, rugi.

No comments:

Post a Comment